KATAHATI.ID, JAKARTA— Karet Indonesia menghadapi penurunan kinerja sealama 10 tahun terakhir karena terlilit sejumlah problem internal dan eksternal. Produksi karetpun relatif stagnan selama periode 2011-2021.Jika menyusuri jalan darat dari Palembang ke Lahat, banyak jajaran tanaman karet yang mulai ditinggalkan.
Dari sisi internal, karet seperti kalah pamor dibandingkan CPO dan tanaman lain karena rendahnya produktivitas tanaman karet—akibat usia pohon di atas 25 tahun atau sudah saatnya dilakukan peremajaan— serta fluktuasi harga karet di tingkat petani. Dari sisi ekternal seperti penurunan harga komoditas karena penurunan kinerja ekonomi Cina, perubahan iklim dan isu keberlanjutan.
Karet Indonesia di Pasar Global
Penurunan harga karet di pasar global menjadi pekerjaan rumah tersendiri di tengah produksi karet nasional yang relatif stagnan sejak 2011-2021.
Faktor global penurunan kinerja ekonomi Cina, sebagai konsumen utama karet global. Harga karet di pasar komoditas terjun bebas ke 133,3 sen AS per kg di awal September 2022, dipicu pelemahan ekonomi China. Kondisi itu, membuat para eksportir harus merugi karena harga jual lebih rendah dibandingkan biaya produksi mereka.
Penurunan harga karet dipicu potensi kenaikan lebih lanjut suku bunga dan ekonomi China yang melemah sejalan kekhawatiran akan resesi global. Faktor pelemahan ekonomi China cukup dominan mengingat negara ini adalah konsumen karet nomor satu dunia. Tiga besar konsumen utama karet dunia sealama 2021 adalah 2021 China (41,2%), India (8,7%), USA (6,7%).
Sekretaris Eksekutif pada Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Utara, Edy Irwansyah, mengungkapkan sejak awal Januari hingga akhir Agustus 2022 harga karet cenderung menurun,sebagaimana dikutip iNews.id. Pada 3 Januari harga karet TSR20 di Bursa Berjangka Singapura (SGX) tercatat 175,1 cent AS per kg. Harga karet tersebut cenderung turun hingga pada 9 Mei 2022 tercatat sebesar 155,8 cent AS per kilogram. Per 1 September 2022, harga karet TSR20 tercatat sebesar 133,3 sen AS per kilogram.
"Tingkat harga saat ini sudah pada posisi rugi, tergantung jenis produsennya. Bila produsennya adalah rakyat maka harga pokok produksinya US$2-2,5 per kg, tergantung besar kecilnya kepemilikan kebun. Sedangkan produsen dari perusahaan perkebunan 1,1-1,6 US$, tergantung besar kecilnya luas lahan kebun," kata Edy.
Karet Indonesia Kalah Pamor di Domesik
Karet Indonesia kalah pamor di rumah sendiri—karena dinilai kurang menguntungkan petani—dibandingkan tanaman lain seperi CPO, padi, tebu, dan tanaman holtikultura lainnya. Faktor lain seperti menyusutnya lahan karena beralih fungsi karet ke sawit/ sawah, berkurangnya gairah petani karena faktor produktivitas -pendapatan, penyusutan produkditivitas karena usia tanaman yang renta, di atas 25 tahun hingga perlu peremajaan.
PTPN Grup, misalnya, bakal mengalihkan 200.000 hektar lahan karet menjadi lahan kelapa sawit untuk mendukung ketahanan pangan khususnya stabilitas pasokan minyak goreng di pasar domestik.
Karet Indonesia Produsen terbesar ke-2 Global
Karet Indonesia, kendati terus menurun pamornya, faktanya merupakan penghasil karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand.
Data rata-rata produksi karet dunia selama periode 2014-2018 menunjukkan ada 6 negara produsen karet dunia dengan total kontribusi sebesar 79,91%. Pada posisi pertama:Thailand yang memberikan kontribusi 31,83% atau rata-rata produksi selama periode 2014-2018 sebesar 4,58 juta ton. Indonesia berada di posisi kedua dengan kontribusi sebesar 23,44% atau rata-rata sebesar 3,37 juta ton.
Tingginya jumlah karet yang dihasilkan tak lepas dari luasnya areal perkebunan karet di Tanah Air. Sumsel merupakan provinsi yang memiliki perkebunan karet terluas di Indonesia. Berdasarkan data Kementan luas areal perkebunan karet di provinsi itu mencapai 872,5.000 hektar pada 2021.
Jambi berada di posisi kedua dengan luas perkebunan karet sebesar 398.000 ha. Menyusul Sumut dan Kalbar yang memiliki luas perkebunan karet masing-masing 397.000 ha dan 392.000 ha. Selanjutnya, luas perkebunan karet di Riau sebesar 330.000 ha. Setelahnya ada Kalteng sebesar 294.000 ha, Kalsel 201.000 ha, dan Lampung 166.000 ha.
Data ini menunjukkan, luas areal perkebunan karet Indonesia terpusat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Secara total, luas perkebunan karet di Pulau Sumatera paling banyak yakni mencapai 2,57 juta ha, sedangkan Pulau Kalimantan terbanyak kedua dengan 963.000 ha.
Sementara itu, luas areal perkebunan karet di Indonesia secara keseluruhan mencapai 3,69 juta ha pada 2021. Rinciannya, lahan tanaman belum menghasilkan (TBM) sebesar 478.000 ha, Tanaman Menghasilkan (TM) 3 juta ha, dan lahan Tanaman Rusak/Tanaman Tidak Menghasilkan (TR/TTM) sebesar 212.000 ha. Luas kebun karet saat ini adalah 3,6 juta ha yang mampu memberikan lapangan kerja bagi 2,5 juta kepala keluarga.
BPS mencatat, jumlah produksi karet di Indonesia mencapai 3,12 juta ton pada 2021. Nilai tersebut naik 8,21% dari tahun sebelumnya yang sebesar 2,88 juta ton.
Produksi karet Indonesia mengalami fluktuasi dalam satu dekade terakhir. Pada 2011, jumlah produksi karet sebesar 2,99 juta ton. Jumlahnya lalu naik menjadi sebesar 3,68 juta ton pada 2017. Kemudian, produksi karet domestik kembali turun hingga mencapai titik terendahnya dalam 10 tahun terakhir sebesar 2,88 juta ton. Angkanya baru meningkat lagi pada tahun lalu.
Kelangsungan usaha ini sangat dipengaruhi oleh harga karet dan kinerjanya baik secara internasional maupun domestik. Ekspor karet Indonesia cukup besar yaitu 2,81 juta ton dengan nilai US$ 3,95 miliar (Ditjenbun, 2019). Perkebunan karet di Indonesia didominasi oleh Perkebunan Rakyat (PR) yaitu sekitar
84,90% dari total luas perkebunan karet.
Karet Indonesia untuk Ban hingga Karet Gelang
Karet Indonesia menjadi bahan baku apa saja sih? Karet menjadi ban pada kendaraan kita, sol sepatu, segel untuk mesin dan lemari es, mengisolasi kabel dan komponen listrik lainnya, kondom dan pakaian, bola olahraga dan karet gelang sederhana. Selama setahun terakhir, perannya sangat penting dalam pandemi, pada alat pelindung diri yang dipakai oleh dokter dan perawat di seluruh dunia. Faktanya, karet dianggap sebagai komoditas yang sangat penting secara global sehingga dimasukkan dalam daftar bahan mentah penting oleh Uni Eropa.
Karet Indonesia :Ketersediaan naik hingga 2024
Kendati menghadapi sejumlah kendala, ketersediaan karet nasional diproyeksikan akan terus meningkat hingga 2024. Meskipun demikian, Kementan memproyeksikan ketersediaan karet nasional sedikit menurun pada 2021. Ketersediaan karet nasional diperkirakan menurun menjadi 865.000 ton pada 2021, atau turun 3,76% dibandingkan tahun 2020. Hal itu diperkirakan karena adanya sedikit penurunan dari produksi karet, sementara volume net ekspor diperkirakan meningkat sebesar 0,27%.
Pada 2022, ketersediaan karet nasional diperkirakan akan meningkat sebesar 3,16% menjadi 892,83 ribu ton. Pasalnya, produksi karet diperkirakan meningkat sebesar 2%, sementara volume net ekspor hanya meningkat sebesar 1,62%, sehingga suplai dalam negeri bertambah.
Kemudian pada 2023 dan 2024, ketersediaan karet nasional untuk dikonsumsi dalam negeri diperkirakan masih terus meningkat, masing-masing menjadi 917.000 ton dan 939.000 ton. Hal ini karena laju pertumbuhan produksi karet lebih tinggi dari laju pertumbuhan volume net ekspor, sementara volume impor cenderung tetap.
Kementan mencatat, karet Indonesia menunjukkan ketersediaan yang surplus bahkan terus meningkat, itu artinya karet Indonesia memang diperuntukkan untuk ekspor. Perkiraan surplus karet terus meningkat menandakan potensi ekspor karet Indonesia masih dapat ditingkatkan lagi, tetapi dengan harapan kualitas dan harga karet yang lebih baik.
Karet Indonesia Dejavu
Karet Indonesia, khususnya karet alam masih memiliki beragam permasalahan dan tantangan. Rendahnya produktivitas pohon karet, fluktuasi harga karet di tingkat petani,perubahan iklim dan isu keberlanjutan di dunia internasional menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Berbagai pihak sepakat, langkah utama dalam mengatasi rendahnya produktivitas tanaman karet rakyat karena uisa tua melalui program peremajaan karet.
Aspek penting lainnya: keuntungan, BPS. menyatakan usaha perkebunan kelapa sawit lebih menguntungkan dibandingkan dengan perkebunan tebu dan karet karena rasio prosentase biaya komoditas andalan Indonesia tersebut lebih rendah dibandingkan yang lain.
Kepala BPS Suryamin menyatakan total nilai produksi untuk tanaman sawit per tahun per hektar sebesar Rp17 juta, sedangkan biaya produksi hanya sekitar 57,05 persen atau senilai 9,7 juta per hektar.
Sementara untuk karet, lanjut Suryamin, nilai total produksi sebesar Rp12,9 juta per hektare per tahun dan untuk biaya produksi mencapai 71,54 persen atau senilai Rp 9,2 juta. Dan untuk tebu, nilai total produksi sebesar Rp 31 juta per hektar per tahun, dan biaya produksi Rp 24,2 juta atau 77,98 persen.
"Kegiatan usaha kelapa sawit secara relatif lebih menguntungkan dibandingkan karet dan tebu," jelas Suryamin.
Kalau sudah begitu hitung-hitungannya, wajar saja jika petani beralih dari tanaman karet.