Sosok

Roger Federer Pensiun: Berakhirnya 'Era Ajaib' & Fedal

federere-edit-the-sun
Sumber The Sun

Roger Federer: Cinta ke Tenis dan Persahabatana dengan Nadal 

KATAHATI.ID, JAKARTA--Momen itu, ketika akhirnya tiba, akan selalu "terbingkai dengan indah", kata Oliver Brown di The Daily Telegraph. Pekan lalu, dengan “jam tangan yang sangat mahal di pergelangan tangan kirinya”, dan “delapan replika emas piala Wimbledon berkilauan di lemari di belakangnya”, Roger Federer menyampaikan berita yang telah lama ditakuti  oleh jutaan penggemarnya.
 
Pemain hebat Swiss itu mengumumkan bahwa Laver Cup akhir pekan ini akan menjadi  penampilan kompetitif terakhirnya. Federer pensiun secara menyesakkan  di "usia senja 41", setelah “dipaksa’menepi dari ajang olahraga tersebut selama hampir dua tahun terakhir,  akibat dibekab serangkaian cedera lutut serius, kata Barney Ronay di The Guardian.
 
Menjuarai Grandslam sebelum era Iphone
Pensiun dalam kondisi  seperti itu tidaklah   mengejutkan – namun tidak dalam kasus Federer. Hal itu “masih terasa menyesakkan”. Kami sudah terbiasa dengan kehadirannya di dunia tenis sehingga masih sulit untuk membayangkan olahraga ini tanpa dia. "Dia adalah pria yang memenangkan turnamen grand slam sebelum iPhone ditemukan, sementara Tony Blair masih menjadi perdana menteri Inggris yang sangat populer."
Sangatlah  mudah untuk melupakan bahwa ketika Federer muncul di awal 2000-an, tenis putra di mata publik “tidak berada di posisi  yang bagus”, kata Matthew Futterman di The New York Times. Era Sampras-Agassi hampir berakhir, dan pemimpin generasi berikutnya adalah David Nalbandian, Lleyton Hewitt, dan Andy Roddick – bukanlah nama yang tepat untuk menciptakan balapan yang memacu jantung. Kemudian datanglah seorang “pemain muda dari Swiss dengan kuncir kuda yang konyol”, dan tiba-tiba publik terperangah “Ooh….”
Baryshnikov dalam sepatu kets”, begitu legenda John McEnroe menggambarkan Federer, sedangkan  Cliff Drysdale, komentator dan mantan pemain profesional, mulai memperhatikan bahwa setiap kali Federer bermain, ruang ganti akan melompong  sebab para pemain lebih senang menontonnya bertanding, kebiasaan yang sudah lama “tidak pernah dilihatnya sejak era Rod Laver”. Tak lama kemudian, trofi-trofi itu tiba “dengan truk penuh”: pada akhir 2008, ketika Federer masih berusia 27 tahun, ia telah memenangkan 13 Grand slam –atau hanya tertinggal  satu tropi dari rekor sepanjang masa milik Pete Sampras.

Federer vs Nadal :Rivalitas  (“To Good To Be True”) yang Begitu Sempurna

Tetapi di sekitar titik itulah aura tak terkalahkan Federer ditantang untuk pertama kalinya, kata Simon Briggs di The Daily Telegraph. Rafael Nadal, lima tahun lebih muda, mulai mengancam dirinya  tidak hanya di lapangan tanah liat – tempat bermain terbaik petenis Spanyol itu dan yang terlemah untuk Federer – tetapi juga di lapangan keras dan rumput. Di final Wimbledon 2008 – secara luas dianggap sebagai pertandingan terbesar abad ini atau yang pernah ada – Nadal menang dalam lima set epik, dan kemudian mengulanginya di Australia Terbuka 2009, kekalahan yang membuat Federer menangis.
 
Bagi kalangan pelaku pemasaran, persaingan mereka "terlalu bagus untuk menjadi kenyataan" (to good to be true), begitu sempurna persaingan keduanya  sehingga tidak layak di titik berlawanan. Jika   "Sang Maestro Swiss yang tenang" membuat permainan terlihat mudah dan hampir tidak pernah terlihat berkeringat, Nadal  sebaliknya terlihat "lebih natural, bersahaja, dan lebih berbobot", dengan gerutuan, lenguhan, dan "bisep kiri raksasanya". Pertarungan mereka mengangkat tenis putra ke level kegairahan  yang belum pernah terjadi sebelumnya – dan kian meningkatkan populeritas Federer, karena mereka mengungkapkan sisi manusianya,  yaitu bisa melakukan  kesalahan.Bottom of Form
 
Di paruh kedua perjalanan karirnya, kendati tidak pernah merebut kembali dominasi di era sebelumnya, Federer tetap  menjadi pemain yang "mendefinisikan ulang" olahraga tersebut, kata Tumaini Carayol di The Guardian. Dia tetap (bersama Nadal dan Novak Djokovic) menjadi bagian dari "Tiga Besar" tenis dan kembali dari operasi lutut pada usia pertengahan 30-an untuk memenangkan tiga gelar Grand slam lagi – sebuah pencapaian yang mengubah persepsi  orang dalam melihat  perjalanan karir pemain tenis.
 
Dengan memodifikasi backhand topspin , dia bahkan akhirnya mengalahkan Nadal, memenangkan enam dari tujuh pertandingan terakhir mereka. Di atas segalanya, “kecintaannya pada olahraga” itulah yang memberikan motivasi untuk terus maju. Dia memiliki banyak kesempatan untuk “keluar dari puncak” [pensiusn ketika masih di puncak prestasi]-– seperti yang dilakukan Sampras 20 tahun yang lalu – tetapi dia akhirnya “terlalu  betah bersenang-senang”.
 
Nadal: Ini Persaingan & Pershabatan
 
Persahabatan Federer dengan Nadal di luar lapangan menyebabkan mereka dijuluki Fedal. 'Fedal' - adalah dua pemain tenis pria paling sukses sepanjang masa dengan total 42 gelar tunggal Grand Slam. Tetapi dengan karir mereka yang terjalin sejak Nadal muncul pada tahun 2004, petenis Spanyol itu mengungkapkan bahwa mereka bergaul dengan sangat baik setelah berbagi menjadi pusat perhatian publik selama bertahun-tahun.
 
Dia berkata: "Ini persaingan, tentu saja, tetapi juga persahabatan. "Kami memiliki cerita yang hebat bersama. Kami memiliki karir yang panjang. "Menghadapi satu sama lain di turnamen paling penting untuk waktu yang sangat, sangat lama. Menciptakan hal-hal positif untuk amal, bermain di acara khusus seperti yang kami lakukan di Cape Town di Afrika Selatan seperti yang kami lakukan beberapa minggu lalu."
Sebaliknya Federer mengatakan dia dan Nadal hanya berteman biasa. “Sejujurnya, kami saling menghormati dan saling memahami sangat baik,” ujar Federer kepada TVA Sports. Menurut Federer, “Nadal memiliki teman yang lebih dekat dibandingkan Saya.Bgitu pula Saya.”

Federer memenangkan pertemuan pertama antara pasangan itu - kemenangan 6-3 6-3 di Miami Terbuka pada 2004 - dan melakukan hal yang sama ketika mereka awalnya berhadapan di Grand Slam.
 
Menyihir 'ilusi optikya sendiri'
Kendati Federer tidak akan turun kasta sebagai pemain yang paling sukses sepanjang masa, kata Matthew Syed di The Times, namun tersirat  keraguan apakah ada pemain lain yang mampu memberikan "kesenangan estetika" seperti yang diberikan Federer.
Persis seperti semua atlet terhebat di jagat, dia adalah seseorang yang "menyihir ilusi optiknya sendiri": bak Michael Jordan yang "dihadirkan untuk melawan  gravitasi yakni mampu melompat tinggi dan menggantung di udara selama sepersekian detik ekstra".   Federer "membuatnya terlihat seolah-olah dia sedang meluncur di atas permukaan lapangan” – dan secara spontan  melepaskan rentetan  pukulan dengan keberanian sedemikian rupa sehingga mereka seolah-olah  meminta  dia untuk “memperlambat waktu”.
 
Dia adalah "salah satu manusia  langka yang mengangkat kualitas kehidupan menjadi luar biasa, tapi tetap bersikap biasa-biasa saja" - dan di atas segalanya, hal itulah yang menyebabkan mengapa begitu banyak orang yang masih tidak rela menerima fakta bahwa "Era Magisnya telah Berakhir".
(Sumber; https://www.theweek.co.uk/news/sport/tennis/958007/roger-federer-retirement-end-to-magical-era,https://www.thesun.co.uk/sport/11096156/roger-federer-rafael-nadal-rivalry-friendship-tennis/dan berbagai sumber lain)